Oleh: Mulyadi J. Amalik[2]

A.  Megawati Soekarnoputri dalam Konstruksi Laki-laki

Setelah Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia menggantikan KH. Abdurrahman Wahid pada Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI tahun 2001, semua orang bergumam ragu apakah beliau akan mewakili citra gerakan perempuan di Indonesia ataukah sebaliknya. Lama ditunggu, Megawati tidak kunjung tampil sebagai perempuan karena ia telah lelap dalam pangkuan politik yang dikuasai politisi laki-laki atau ternyenyak di kursi kepresidenannya yang lebih mewakili citra kaum laki-laki.

Seperti dikhawatirkan oleh banyak aktivis perempuan, nasionalisme Megawati yang sebelumnya berkobar-kobar seolah tidak akan kunjung padam, seketika menjadi redup saat menghadapi realitas kongkret perempuan Indonesia. Sebagai contoh, Megawati tidak mempunyai sikap yang jelas dalam menangani sektor buruh perempuan (soal perlindungan buruh perempuan domestik atau migrant) atau soal lemahnya posisi perempuan dalam hukum dan politik Indonesia dimana di situ kakinya sendiri ditapakkan. Sudah sejak awal banyak kaum feminis menaruh curiga bahwa Megawati memang telah mewakili watak kaum nasionalis yang mengganggap masalah-masalah perempuan tidak layak diangkat ke permukaan sebab diyakini akan menghambat kepentingan umum negara.[3] Sementara, kisah terbentuknya negara Indonesia itu merupakan hasil konstruksi pemikiran bersama dari kaum nasionalis-sekuler dan nasionalis-agama yang semuanya berjenis kelamin laki-laki. Semua itu terus direproduksi sebagai sejarah suci bangsa hingga tertempel di ingatan bagaikan stiker yang tidak bisa dikelupas.

Simpulnya, status Megawati selaku Presiden RI bukanlah representasi dari kejayaan perjuangan politik kaum perempuan Indonesia, melainkan hanya sebagai perjuangan Megawati sebagai dirinya sendiri.

Terlepas dari itu, fenomena Megawati ini telah mewakili dua konstruksi besar pandangan umum (common sense) masyarakat Indonesia. Pertama, puncak karir Megawati dianggap sebagai berkah dari kebesaran ayahnya, Ir. Soekarno selaku mantan Presiden Pertama RI. Atau Megawati sebagai perempuan selalu ditempatkan di bawah bayang-bayang Soekarno. Kadang-kadang, cara pandang ini juga diberlakukan untuk setiap perempuan yang pacar, suami, ayah, atau kakeknya memiliki popularitas di bidang politik, kesenian, keilmuan, dan lain-lain. Kedua, karir Megawati -terutama di bidang politik- dianggap sebagai keberuntungan yang diperolehnya dari dukungan kaum laki-laki, baik saat ia memimpin organisasi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di zaman Orde Baru maupun ketika ia berada di lingkungan parlemen dan kabinet. Pandangan ini kadang digunakan oleh kebanyakan orang untuk menakar independensi, karakter, atau sikap kepemimpinan perempuan yang berada di dalam lingkungan laki-laki.

Fenomena Megawati ini sesungguhnya setali tiga uang dengan kisah R. A. Kartini atau pahlawan-pahlawan perempuan Indonesia lainnya yang dibesarkan melalui konstruksi pemikiran laki-laki. Semua konstruksi itu sesungguhnya adalah konstruksi politik yang selalu diproduksi oleh negara dan lalu direproduksi oleh masyarakat umum sebagai sejarah.

Untuk menghadapi semua masalah di atas, kaum perempuan memang harus bertarung memperebutkan keterwakilannya atau quota (jatah) di dalam partai politik dan parlemen. Akan tetapi, arena partai politik dan parlemen ini bukanlah tempat yang bisa dimasuki secara gratis oleh siapapun -apalagi, perempuan!- karena banyak dibalut oleh berbagai konflik kepentingan dan perilaku diskriminatif antarpolitisi.

B. Politik: Pisau Bermata Dua Bagi Perempuan

Berbicara tentang keterwakilan perempuan di parlemen (badan legislatif pusat atau daerah), sesungguhnya sama saja dengan berbicara tentang peran dan posisi perempuan dalam dunia politik di Indonesia. Kemudian, pembicaraan itu pun akan selalu terkait dengan proses pemilu, rekrutmen partai politik, dan Undang-Undang Pemilu serta Undang-Undang Politik. Berangkat dari masalah peran dan posisi politik perempuan itu, maka terdapat dua agenda yang sangat sensitif yaitu, 1) konstruksi tentang peran dan posisi perempuan dalam sejarah politik dan parlemen di Indonesia yang selalu ditempatkan di kelas dua; dan 2) konstruksi tentang partai politik dan institusi parlemen di Indonesia yang sangat maskulin. Lantaran itu, dunia politik atau parlementer pun tampak bagai pisau bermata dua bagi perempuan. Artinya, tajam di dua sisi hingga bisa menikam gerakan perempuan itu sendiri.

Di luar dua poin agenda sensitif di atas, terdapat lagi dua poin yang tidak kalah berbahayanya bagi gerakan perempuan, yaitu 1) soal dunia politik yang identik dengan dunia laki-laki; dan 2) soal dunia perempuan yang banyak dikonstruksikan oleh feminis laki-laki. Dua masalah ini juga akan menjadi batu sandungan bagi perjuangan atau gerakan perempuan, baik secara politik maupun kultural. Dalam kata lain, dua masalah ini pun telah menjadi pisau bermata dua bagi gerakan perempuan Indonesia di arena politik dan parlemen. Di bawah ini, akan diurai secara singkat dilema dan tantangan yang dihadapi kaum perempuan, baik di arena partai politik dan institusi parlemen maupun dalam lingkungan gerakan perempuan sendiri.

Pertama, di wilayah politik, menurut Budi Shanti[4], jumlah perempuan Indonesia yang besar ternyata tidak mengindikasikan kekuatan posisi strategis mereka dalam pengambilan keputusan-keputusan politik. Sebagaimana dikutip Shanti dari data Biro Pusat Statistik tahun 2001, terdapat 101.628.816 atau sekitar 51% jumlah perempuan dari total penduduk Indonesia. Akan tetapi, hanya 8% hingga 10% saja yang terpilih dalam setiap pemilu. Di dalam parlemen di daerah-daerah saat inipun, misalnya, hanya terdapat 44 orang atau 9,1% saja jumlah perempuan. Atau dari 30 Daerah Tingkat I di Indonesia, tidak satu pun terdapat perempuan yang memimpinnya, sedangkan dari 336 Daerah Tingkat II hanya 6 daerah yang dipimpin oleh perempuan.

Angka-angka itu sudah memperlihatkan bahwa jenis kelamin atau subyek negara Indonesia adalah laki-laki. Sementara, pada satu sisi, perempuan tetap terikat pada kontrak kewarganegaraannya dengan negara atau pemerintah yang berpola paternalistik (fraternity) dan kekeluargaan (brotherhood), dan pada sisi lain, perempuan terus diberi beban pekerjaan domestik yang menuntut waktu full-time sehingga sulit berpartisipasi penuh di sektor publik seperti dunia politik.[5]

Kedua, isu-isu yang berkaitan dengan perempuan atau gender, termasuk soal quota perempuan di partai politik dan parlemen, mengalami masifikasi sekaligus mistifikasi karena dimanfaatkan oleh banyak laki-laki untuk berbagai kepentingan. Kenyataan ini tidak bisa dipungkiri oleh kaum perempuan karena mereka berada dalam seting besar ideologi dan budaya patriarki, yakni ideologi kelelakian yang tidak hanya tumbuh subur di kepala laki-laki, tetapi juga di kepala perempuan, di dalam tafsir agama, dan di dalam tradisi atau adat hingga sangat mempengaruhi arah kebijakan negara dan birokrasi pembangunan.[6]

Gadis Arivia[7] mengkategorikan empat jenis motivasi dan isi motivasi dari para feminis laki-laki yang mengkonstruksi masalah perempuan atau gender menjadi masalah laki-laki, yakni: (1) Kategori Motivasi “Proyek” Gender: Isu gender dilihat sebagai kegiatan proyek yang dapat mendatangkan uang dan jabatan, tidak memiliki kesadaran gender, dan tidak peduli atau sedikit peduli pada isu-isu perempuan; (2) Kategori Motivasi Gender Sebatas Istilah: Menggunakan kata gender, tetapi tidak mengerti maknanya, bersikap “sok tahu” pada kata gender, dan menggunakan kata gender untuk pamer; (3) Kategori Motivasi Intelektual-Borjuis: Tidak mau ketinggalan dengan teori-teori yang berkembang, cenderung menceramahi orang lain (termasuk para feminis) soal isu-isu gender, dan ingin tampil heroik, dan; (4) Kategori Motivasi Empati: Memiliki kepedulian yang besar, berangkat dari pengalaman-pengalaman pribadi, mudah tersentuh, dan protes secara pribadi atau secara sosial atas perilaku rekan laki-lakinya.

Namun demikian, perjuangan perempuan tidak sama dengan perjuangan melawan laki-laki sebab persoalan penindasan atau ketidakadilan terhadap perempuan merupakan persoalan sistem dan struktur yang dikendalikan secara timpang oleh negara atau kelompok-kelompok kepentingan yang dominan.[8]

Bila dikaitkan dengan keterwakilan perempuan di dalam partai politik dan parlemen, maka dapat disimpulkan bahwa perjuangan perempuan di sini merupakan perjuangan untuk mencapai hubungan antarsesama manusia (termasuk hubungan laki-laki dan perempuan) yang bersifat emansipatoris-partisipatif dalam kegiatan politik dan kebijakan negara.

C. Urgensi Basis Gerakan Perempuan

“Mengapa RUU Pemilu dan RUU Partai Politik merupakan instrumen strategis untuk peningkatan keterwakilan perempuan?” tanya Ani Soetjipto[9] yang dijawabnya sendiri dengan beberapa alasan. Pertama, perempuan Indonesia sudah memiliki hak dipilih/memilih dan kuantitasnya sekitar 50% lebih dari total penduduk Indonesia, tetapi perwakilannya hanya 8,8% di DPR dan 8,6% di MPR. Kedua, institusi politik dan proses yang mendukung peningkatan partisipasi politik perempuan sangat terbatas. Ketiga, RUU Pemilu dan RUU Partai Politik merupakan media untuk mencapai agenda strategis yaitu penerapan quota perempuan (minimal 30% dari total perempuan) dalam proses rekrutmen partai politik dan pencalonan anggota partai politik untuk badan legislatif saat pemilu.

Alasan lain ialah[10], RUU Partai Politik dapat mengatur soal jaminan atas keterwakilan perempuan yang harus dilakukan secara internal oleh partai politik (melalui platform atau AD/ART, rekrutmen, kaderisasi atau pendidikan politik)  dan secara eksternal melalui UU Partai Politik; dan RUU Pemilu dapat mengatur sistem pemilihan proporsional terbuka sehingga yang dipilih oleh pemilih adalah individu-individu dari setiap partai politik yang mencalonkannya sebagai kandidat legislatif. Melalui sistem pemilu proporsional terbuka inilah peluang perempuan akan terbuka lebar karena para pemilih dapat menakar langsung kualitas para kandidat laki-laki maupun perempuan yang akan dipilihnya.

Argumen-argumen di atas memang strategis bila berhasil diakomodasi dalam undang-undang karena dapat memenuhi target quota perempuan dalam partai politik dan parlemen. Akan tetapi, walau tidak selalu salah, perjuangan legal drafting ini sesungguhnya sangat elitis bila dilihat dari common sense masyarakat tentang peran perempuan dalam institusi politik dan parlemen.

Saat ini, common sense masyarakat tentang  perempuan masih dikepung oleh kesadaran palsu mengenai politik-gender yang dicanangkan oleh rezim Orde baru sejak tahun 1970-an. Buah dari proyek ini ialah hegemoni wacana yang selalu menggiring perempuan ke sektor domestik dengan kriteria biologis (seperti soal ciri seksual atau kelamin yang tentu saja berbeda bila dibandingkan dengan laki-laki).

Menurut Yanti Muchtar[11], dengan menggunakan konsep kodrat, rezim Orde Baru mengkonstruksikan ideologi-gender sebagai ideologi ibuisme, yaitu paham yang memandang kegiatan ekonomi perempuan sebagai bagian peran keibuannya. Peran domestik inilah yang menghambat perempuan berpartisipasi di sektor politik. Politik-gender itu termanifetasi dalam kebijakan hukum dan politik seperti UU Perkawinan No. 1/1974 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Selain itu, ideologi-gender tersebut diusung dan disiarkan pula melalui organisasi-organisasi perempuan hasil bentukan rezim Orde Baru seiring dengan politik korporasinya. Sebagai contoh, ada organisasi Dharma Wanita untuk istri pegawai negeri sipil, Dharma Pertiwi untuk istri para tentara dan polisi, dan Pembina Kesejahteraan Keluarga (PKK) untuk perempuan umum, khususnya di desa-desa. Salah satu jenis kampanye PKK tersurat dalam Panca Dharma Wanita yang berisi slogan tentang perempuan sebagai pendamping setia suami, berguna bagi bangsa, pendidik anak, pengelola rumah tangga, dan anggota masyarakat yang berguna.

Berangkat dari seting Orde baru di atas, maka pekerjaan mendesak bagi gerakan perempuan Indonesia ialah memperkuat basis politik di kalangan perempuan. Basis politik ini memang menjadi titik terlemah gerakan perempuan Indonesia sehingga menjadi elitis dan tidak membumi. Jadi, isu strategisnya ialah penguatan institusi basis dan kontra-wacana. Kelak, basis politik itulah yang akan menjadi konstituen gerakan perempuan saat memperjuangkan quota di partai politik dan parlemen.


[1] Ditulis untuk tugas mata kuliah Strategi dan Pemberdayaan Perempuan, diampu oleh Dr. Partini pada Program Studi Sosiologi-Studi Pembangunan Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

[2] Penulis adalah Peneliti di Kantata Research Indonesia, Jakarta

[3] Wijaksana, M. B., “Kontroversi (Bernama) Megawati” dalam Jurnal Perempuan No. 19, 2001, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, halaman 13-14

[4] Budi Shanti, “Kuota Perempuan Parlemen: Jalan Menuju Kesetaraan Politik” dalam Jurnal Perempuan No. 19, 2001, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, halaman 21-22.

[5] Adriana Venny, “Perempuan sebagai Warganegara, Hak atau Kewajiban?”, dalam Jurnal Perempuan No. 19, 2001, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, halaman 52-53

[6] Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, halaman 151

[7] Gadis Arivia, “Feminisme Masa Depan” dalam Nur Iman Subono (Peny.), Feminis Laki-Laki, Solusi atau Persoalan?, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan dan The Japan Foundation, Indonesia, 2001, halaman 6.

[8] Dr. Mansour Fakih, Op. Cit, halaman 152

[9] Ani Soetjipto, “Urgensi Penerapan Kuota Perempuan dalam Paket Undang-Undang Politik” dalam Kompas, Senin, 4 November 2002

[10] Sri Lestari Wahyuningroem, “Sistem Pemilu, Partai Politik, dan Keterwakilan Perempuan,” dalam Kompas, Senin, 4 November 2002

[11] Yanti Muchtar, “Gerakan Perempuan Indonesia dan Politik Gender Orde Baru”, dalam Jurnal Perempuan No. 14, 2000, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, halaman 11