“Ya ampun.. Kok sampai telat. Problem kesehatanmu itu kan pada alat pencernaan: tenggorokan, lambung & usus kan? So, hati-hatilah dgn itu semua. Semoga cepat sembuh” [Ah. Maftuchan, 23 Juli 2006, 9:27 p.m.]

Itu adalah SMS kesekian yang saya terima berkaitan dengan pengelolaan kesehatan diri –yang menurut orang-orang- sangat teledor dan kedodoran. SMS tersebut mungkin tidaklah keterlaluan, mengingat dalam 2 minggu berturut-turut, saya didera penyakit parah. Minggu pertama, tepatnya 15 Juli 2006, sebulan lebih sedikit dari status staf yang melekat di kedirian saya sejak 9 Juni 2006, saya terkapar karna masalah lambung yang serius, yakni terluka akibat konsumsi makanan bercita rasa pedas dan asam yang over dosis. Minggu selanjutnya, tepatnya 23 Juli 2006, saya terkapar akibat flu yang saya derita bertambah parah dan mengakibatkan asma saya kumat. Saya resmi digiring ke dokter dalam keadaan bernafas dengan kepayahan….

Apakah dua peristiwa tersebut cukup membuat saya memperhatikan masalah kesehatan dengan lebih serius? Hingga detik ini saya tidak punya jawaban pastinya. Satu pelajaran pasti yang saya dapatkan dengan terkapar selama dua minggu berturut-turut, bahwa institusi tempat saya bekerja sedemikian diskriminatifnya terhadap saya dengan menghalangi saya dari fasilitas ASKES Platinum yang notabenenya diberikan kepada seluruh staf. Ketika hal ini saya konfirmasikan dengan NM yang saat itu masih nongkrong di Biro SDM, dengan lugas dan tangkas “beliau” menjawab, “Kamu tidak mendapat ASKES karena status kamu disini masih probation, dan kamu menjalin kontrak dengan pihak ketiga yakni PJK UN***** bukan B**.

Saat itu saya berpikir, it is the rules and regulations. Tapi apa kenyataan berbeda untuk kasus serupa yang diterapkan kepada orang lain tidak menampar wajah saya? Sebutlah seorang KCP dan JE yang bernomor pegawai jauh lebih besar dari saya, namun mendapatkan fasilitas ASKES Platinum di minggu kedua mereka bekerja di B**. Wow, luar biasa!!! Standing applause untuk perlakuan diskriminatif tersebut. Sayangnya, NM kemudian pindah ke kedeputian lain yang diklaim lebih sesuai untuk orang dengan background sepertinya. Tinggal saya bagai kambing ompong yang ketika melayangkan keluhan, hanya dijawab angin. What a fu**, saya mendapatkan ASKES Platinum tersebut (akhirnya) setelah menandatangani kontrak setahun.

Ada yang lebih penting dari itu semua, yakni bagaimana saya ingin “memaknai sakit” sebagaimana menjadi judul dari tulisan ini. Saya menyerah, dengan semua kondisi penyakit yang melekat di diri saya. Apakah saya terlalu pesimis? Saya punya bukti untuk menunjukkan penyerahan saya terhadap kondisi ini, yaitu Kartu Berobat (ditulis dengan huruf awal kapital untuk menunjukkan betapa pentingnya hal ini sebagai bukti fisik). Saya mengoleksi beberapa, sebutlah Kartu Berobat RSU Dr. Sardjito, RS Panti Rapih, Gadjah Mada Medical Center (GMC) dan Klinik Baruna di bilangan Cikini, Jakarta.

GOSH, saya masih mengingat dengan jelas ketika pada tanggal 4 Agustus 2004 saya terkapar sakit karena radang tenggorokan. Klinik Baruna dipilih dengan alasan kedekatan jarak dengan rumah di Gambir, Jakarta Pusat. Namun biaya berobatnya membuat kantong saya sakit, yaitu Rp 126.000,- Bayangkan bahwa untuk penyakit yang sama jika berobat di GMC hanya menghabiskan maksimal Rp 20.000,- (sudah termasuk biaya konsultasi dan obat). TUHAN!!!!!

Selain itu, saya pernah terpaksa di-inap-kan di RS. Panti Rapih karena lambung saya mengalami infeksi. Tidak tahu apakah cerita dibalik itu menjadi penting, yakni bahwa selama 3 hari berturut-turut, penyakit saya bertambah parah setelah mengkonsumsi obat tertentu pada waktu tertentu (tentu saja, sesuai petunjuk dokter). Alkisah, setelah menjalani ujian final semester VI dengan sukses, saya mengaku tidak kuat lagi berkompromi terhadap sakit di daerah lambung, yang sesungguhnya telah muncul sejak masa-masa ujian…

Saya memutuskan untuk berobat ke seorang dokter umum di RS Panti Rapih. Oleh dr. Lucia Wahyu H., saya diberikan 3 jenis obat yang harus diminum sesuai anjuran. Kacaunya, setelah obat yang hanya diminum satu kali sehari saya tenggak, saya langsung merasakan sakit luar biasa di daerah lambung dan bonus demam tinggi. Saya memutuskan kembali ke dokter malamnya. Sayang… dokter dimaksud tidak praktek malam itu. Saya pun mendafar untuk berkonsultasi dengan dokter umum lain, dr. Hawa Mustika. Saya diberikan 3 jenis obat baru dengan nasehat untuk terus melanjutkan 3 obat yang sebelumnya sudah diresepkan. Karena saya diberikan pilihan untuk tidak meminum obat kemarin jika merasa tidak yakin, maka saya mengambil pilihan tersebut. Namun, peristiwa malam sebelumnya berulang, saya menderita sakit luar biasa dan demam tinggi setelah mengkonsumsi satu jenis obat. Teman-teman kost yang selama dua malam sudah setia menemani proses sakit dan terkapar, memutuskan bahwa detik itu juga saya harus masuk UGD.

Seluruh proses menjadi pesakitan menyiksa saya. Mulai dari infus yang tidak berkompromi (SUMPAH, SAKIT BANGETTTTTTTT) serta suster yang minim pengalaman (berkali-kali gagal untuk mengambil sampel darah saya di nadi lengan sebanyak satu spet pada pukul 5 pagi, TUHANNNNNN). Alhamdulillah, semuanya usai setelah 2 hari. Namun saya senang dengan pelayanan yang “memanusiakan manusia” ala RS Panti Rapih; (1) aturan besuk yang sangat ketat, sehingga pasien memiliki lebih banyak waktu untuk beristirahat, (2) kebersihan ruangan yang terjaga (dibersihkan dua kali sehari), (3) saya menempati kamar Kelas III, namun satu kamar hanya diisi oleh 4 orang plus aturan bahwa satu pasien hanya boleh ditemani oleh satu orang (hmmm, Anda tidak akan menemukan kondisi ini di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta). Saat itu saya berpikir, secara ekonomi saya hanya mampu memenuhi standar kelas III, namun secara pelayanan, RS tidak sedikit pun menganggap saya kambing.

Seorang bijak (dan itu adalah saya) berkata bahwa dengan sakit kita akan lebih mensyukuri nikmat sehat yang dianugerahkan Tuhan kepada kita. Sehingga, setiap jatuh sakit akan memberi kita pengalaman berharga tentang pentingnya menjaga kesehatan.
Wah, saya mengakui bahwa seringkali nasehat justru menjadi lebih berguna bagi orang yang memberi nasehat dibandingkan untuk yang mendengar, hehehehe… Kenyataan bahwa saya menderita begitu banyak sakit, menjadi fakta tersendiri yang menyakitkan buat saya.

Dengan riwayat alergi yang diwariskan mama, saya sukses tercatat sebagai penderita asma bronchiale. Sejak 23 Juli lalu saya men-de-mistifikasi mitos penggunaan inhaler sebagai terapi saat asma menyerang [Saya memiliki 3 dokter berbeda untuk penyakit ini. Yang terlama adalah dr. Usman Nur yang setia menemani sejak saya divonis menderita gejala bronchitis hingga positif asma. Beliau melarang saya menggunakan inhaler dengan alasan dapat menimbulkan ketergantungan. Demikian halnya dengan dr. Buchari MJ]. Saat ini, saya tidak pernah lupa untuk membawa Combivent di saku tas punggung saya. Dan saya menemukan kelegaan luar biasa ketika serangan asma hanya sempat singgah selama 5 – 15 menit…..

Selain itu, saya selalu bangun pagi dengan kondisi hidung meler. Jika saya pernah ditolak sebagai salah satu pendonor untuk bulan bakti PMI di kampus saya, ini tidak lain sebagai akibat dari ketidakmampuan saya menjawab pertanyaan, “Apakah Anda merasa sehat hari ini?” Bagaimana mungkin, jika selama 365 hari dalam setahun, saya selalu flu?. Flu yang saya derita sering memburuk ketika saya berada dalam fase PMS (pre-Menstrual Syndrome) dimana ketidakseimbangan hormon mengakibatkan stamina saya semakin down.

Ini adalah cuplikan percakapan saya dengan seorang dokter umum di GMC (saya lupa namanya, namun pribadinya sangat simpatik);
DR: Saya melihat dari rekam medis bahwa ini bukan yang pertama kalinya Anda berkonsultasi dengan keluhan terkena racun serangga
MH: Benar dokter, saya bahkan mengingat dengan jelas semua salep yang pernah diresepkan; Elocon, Sagestam, Hydrocortisone, Betason-N, dan Berloson-N. Mengapa ini terus terjadi, dok?
DR: Dari pengakuan Anda bahwa Anda alergi terhadap Aspirin dan kelompok obat-obatan GIN, maka tidak heran jika kulit Anda memiliki kadar sensifitas yang lebih tinggi. Ini sangat tipikal orang-orang yang memiliki alergi obat. Bahwa racun serupa bila terkena di orang lain, tidak akan berefek apa pun. Namun terhadap Anda, ini menimbulkan efek inflamasi kortikosteroid. Beberapa obat yang Anda sebutkan tadi benar dan tepat untuk mengobati keluhan tersebut, namun sangat kasuistik, yakni ada kondisi dimana membutuhkan terapi Elocon agar sembuh, namun ada kondisi lain dimana yang dibutuhkan terapi Betason-N dan lain sebagainya
MH (dalam hati): Dokter, saya bersedia menikah dengan Anda… Betapa Anda sangat mengerti kondisi kerentanan saya terhadap serangga-serangga brengsek itu… Saya pikir Anda pantas mendampingi saya…

Saya hampir terlupa menyebutkan satu informasi penting, yakni bahwa saya juga alergi MSG alias Monosodium glutamat. Apakah saya berlebihan jika kemudian saya ekstra hati-hati memilih jajanan luar? Well, reaksi paling umum dari alergi ini adalah sakit kepala yang luar biasa dan hanya bisa sembuh dengan menenggak Paramex…

Seorang teman yang merelakan SMSnya saya kutip di bagian awal tulisan ini, menitipkan dua buah pesan singkat menyikapi pesimisme saya terhadap seluruh penyakit yang –sepertinya- enggan pergi dari saya, “Get up, stand up, don’t give up to fight (Bob Marley). Above all, keep up your courage to fight ilness and don’t despair over the situation” [25 Oktober 2006, 12:41 a.m]

“Dari begitu banyak hal, bagiku ada dua yang paling mendasar; (1) jeda waktu untuk rehat dan refleksi, dan (2) ujian, sejauhmana kita memahami diri sendiri secara fisik dan psikis” [25 Oktober 2006, 12:47 a.m]